Sesungguhnya
ada dua faktor integral yang menjadi dasar dan latar belakang sejarah
berdirinya IMM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Yang dimaksud
dengan faktor intern adalah faktor yang terdapat dan ada dalam
organisasi Muhmmadiyah itu sendiri. Sedangkan faktor ekstern adalah
hal-hal dan keadaan yang datang dari dan berada di luar Muhammadiyah,
yaitu situasi dan kondisi kehidupan umat dan bangsa serta dinamika
gerakan organisasi-organisasi mahasiswa.
Faktor
intern sebetulnya lebih dominan dalam bentuk motivasi idealis dari
dalam, yaitu dorongan untuk mengembangkan ideologi, paham, dan cita-cita
Muhammadiyah. Untuk mewujudkan cita-cita dan merefleksikan ideologinya
itu, maka Muhammadiyah mesti bersinggungan dan berinteraksi dengan
berbagai lapisan dan golongan masyarakat yang majemuk. Ada masyarakat
petani, pedagang, birokrat, intelektual, profesional, mahasiswa. dan
sbagainya.
Interaksi
dan persinggungan Muhammadiyah dengan mahasiswa untuk merealisasikan
maksud dan tujuannya itu, cara dan strateginya bukan secara langsung
terjun mendakwahi dan mempengaruhinya di kampus-kampus perguruan tinggi.
Tetapi caranya adalah dengan menyediakan dan membentuk wadah khusus
yang bisa menarik animo dan mengembangkan potensi mahasiswa. Anggapan
mengenai pentingnya wadah bagi mahasiswa tersebut lahir pada saat
Muktamar ke-25 Muhammadiyah (Kongres Seperempat Abad Kelahiran
Muhammdiyah) pada tahun 1936 di Jakarta. Pada kesempatan itu dicetuskan
pula cita-cita besar Muhammadiyah untuk mendidirkan universitas atau
perguruan tinggi Muhammadiyah.
Namun
demikian, keinginan untuk menghimpun dan membina mahasiswa-mahasiswa
Muhammadiyah tersebut tidak bisa langsung terwujud, karena pada saat itu
Muhammadiyah belum memiliki perguruan tinggi sendiri. Untuk
menjembataninya, maka para mahasiswa yang sepaham, atau mempunyai alam
pikiran yang sama, dengan Muhammadiyah itu diwadahi dalam organisasi
otonom yang telah ada seperti NA dan Pemuda Muhammadiyah, serta tidak
sedikit pula yang berkecimpung di HMI. Pada tanggal 18 November 1955,
Muhammadiyah baru bisa mewujudkan cita-citanya untuk mendirikan
perguruan tinggi yang sejak lama telah dicetuskannya pada tahun 1936,
yaitu dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Filsafat di Padang Panjang.
Pada tahun 1958, fakultas serupa dibangun di Surakarta; kemudian di
Yogyakarta berdiri Akademi Tabligh Muhammadiyah; dan Fakultas Ilmu
Sosial di Jakarta, yang kemudian berkembang menjadi Universitas
Muhammadiyah Jakarta. Kendati demikian, cita-cita untuk membentuk
organisasi bagi mahasiswa muhammadiyah tersebut belum bisa terbentuk
juga pada waktu itu. Kendala utamanya karena Muhammadiyah—yang waktu itu
masih menjadi anggota istimewa Masyumi—terikat Ikrar Abadi umat Islam
yang dicetuskan pada tanggal 25 Desember 1949, yang salah satu isinya
menyatakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam adalah HMI.
Sejak
kegiatan pendidikan tinggi atau perguruan tinggi Muhammadiyah
berkembang pada tahun 1960-an itulah kembali santer ide tentang perlunya
organisasi yang khusus mewadahi dan menangani mahasiswa. Sementara itu,
menjelang Muktamar Muhammadiyah Setengah Abad di Jakarta pada tahun
1962, mahasiswa-mahasiswa perguruan tinggi Muhammadiyah mengadakan
Kongres Mahasiswa Muhammadiyah di Yogyakarta. Dari kongres ini pula
upaya untuk membentuk organisasi khusus bagi mahasiswa Muhammadiyah
kembali mengemuka. Pada tanggal 15 Desember 1963
mulai diadakan penjajagan berdirinya Lembaga Dakwah Mahasiswa yang
idenya berasal dari Drs. Mohammad Djazman, dan kemudian dikoordinir oleh
Ir. Margono, dr. Soedibjo Markoes, dan Drs. A. Rosyad Sholeh.
Dorongan
untuk segera membentuk wadah bagi mahasiswa Muhammadiyah juga datang
dari para mahasiswa Muhammadiyah yang ada di Jakarta seperti Nurwijoyo
Sarjono, M.Z. Suherman, M. Yasin, Sutrisno Muhdam dan yang lainnya.
Dengan banyaknya desakan dan dorongan tersebut, maka PP Pemuda
Muhammadiyah—waktu itu M. Fachrurrazi sebagai Ketua Umum dan M. Djazman
Al Kindi sebagai Sekretaris Umum—mengusulkan kepada PP Muhammadiyah—yang
waktu itu diketuai oleh K.H. Ahmad Badawi—untuk mendirikan organisasi
khusus bagi mahasiswa yang diiberi nama Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah—atas usul Drs. Mohammad Djazman yang--, dan kemudian
disetujui oleh PP Muhammadiyah serta diresmikan pada tanggal 14 Maret
1964 (29 Syawwal 1384). Peresmian berdirinya IMM itu resepsinya diadakan
di gedung Dinoto Yogyakarta; dan ditandai dengan penandatanganan "Enam
Penegasan IMM" oleh K.H. Ahmad Badawi, yang berbunyi:
Sedangkan
faktor ekstern berdirinya IMM berkaitan dengan situasi dan kondisi
kehidupan di luar dan di sekitar Muhammadiyah. Hal ini paling tidak
bertalian dengan keadaan umat Islam, kehidupan berbangsa dan bernegara
rakyat Indonesia, serta dinamika gerakan mahasiswa.
Keadaan
dan kehidupan umat Islam waktu itu masih banyak dipenuhi oleh tradisi,
paham, dan keyakinan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang
sesungguhnya. Keyakinan dan praktek keagamaan umat Islam, termasuk di
dalamnya adalah mahasiswa, banyak bercampur baur dengan takhayul,
bid`ah, dan khurafat.
Sementara
itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga tengah terancam oleh
pengaruh ideologi komunis (PKI), keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan,
dan konflik kekuasaan antar golongan dan partai politik. Sehingga,
kendati waktu itu Indonesia telah merdeka selama kurang lebih 20 tahun,
namun tidak bisa mencerminkan makna dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan. Demokrasi dan kedaulatan rakyat terkungkung, sementara
tirani kekuasaan dan otoritarianisme merajalela akibat kebijakan
demokrasi terpimpin ala Soekarno.
Keadaan
politik Indonesia sekitar awal sampai dengan pertengahan tahun '60-an,
tulis Cosmas Batubara, sangat menarik. Banyak pengamat politik yang
mengatakan bahwa perkembangan dan kehidupan politik saat itu diwarnai
oleh tiga pelaku politik yang amat dominan, yaitu: Diri pribadi Presiden
soekarno; ABRI (terutama sekali angkatan Darat); dan PKI. Ketiga
kekuatan politik tersebut sangat mewarnai dan mempengaruhi perilaku dan
orientasi kehidupan berbangsa, dan bernegara di berbagai lapisan dan
kelompok masyarakat. Di kalangan organisasi mahasiswa, orientasi dan
perilaku politiknya juga terbagi ke dalam tiga kekuatan dominan tadi.
Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden Soekarno
adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI, PMKRI, dan
SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal). Sedangkan
yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi Gerakan
Mahasiswa Indonesia). Di tengah kemelut dan pertentangan garis politik
tersebut, pergolakan organisasi-organisasi mahasiswa sampai dengan
terjadinya G30S
1965 terlihat menemui jalan buntu dalam mempertahankan partisipasinya
di era kemerdekaan RI. Pada waktu itu sejak Kongres Mahasiswa Indonesia
di malang pada tanggal 8 Juni 1947, organisais-organisasi mahasiswa
seperti HMI, PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia),
PMKI (Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia; yang pada tahun 1950
berubah menjadi GMKI [Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia]), PMJ
(Persatuan Mahasiswa Jogjakarta), PMD (Persatuan Mahasiswa Djakarta),
MMM (Masyarakat Mahasiswa Malang), PMKH (Persatuan Mahasiswa Kedokteran
Hewan), dan SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia) berfusi ke dalam PPMI
(Perserikatan Perhimpunan-Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) yang bersifat
independen. Independensi PPMI sebagai penggalang kekuatan
anti-imperialisme pada mulanya berjalan kompak. Tetapi setelah
mengadakan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika (KMAA) di Bandung tahun
1957—yang menjadi prestasi puncak PPMI—masing-masing organisasinya
kemudian memisahkan diri. Hal ini karena pada tahun 1958 PPMI menerima
CGMI, selundupan PKI, yang kemudian melancarkan aksi intervensi untuk
mempengaruhi organisasi mahasiswa lain agar keluar dari PPMI. Akhirnya ,
karena kuatnya pengaruh dan intervensi dari CGMI tersebut, maka
masing-masing organisasi dalam PPMI memisahkan diri. Pada bulan oktober
1965, setelah PKI dilumpuhkan, PPMI akhirnya secara resmi membubarkan
diri. Sasaran gerakan CGMI sebetulnya ingin mendominasi gerakan
mahasiswa dan kehidupan kampus serta ingin menyingkirkan
organisasi-organisasi mahasiswa Islam seperti HMI.
Sesungguhnya
sebelum PPMI membubarkan diri, antara tahun 1964 sampai 1965
masing-masing organisasi mahasiswa yang berfusi di dalamnya bersikap sok
revolusioner. Pada akhirnya HMI juga tidak ketinggalan untuk menjadi
bagian dari kekuatan revolusioner. Menurut Deliar Noer, waktu itu HMI
dengan keras turut menyanyikan senandung Demokrasi Terpimpin.
Slogan-slogan Soekarno mulai dikumandangkan seperti "Nasakom jiwaku",
"revolusioner", dan "ganyang Malaysia". Bahkan pada tahun 1964 HMI
memecat beberapa anggota penasihatnya yang telah alumni karena tidak
sesuai dengan revolusi. HMI juga mengecam keras Kasman Singodimedjo yang
sedang menghadapi pengadilan di Bogor dan menuntut dihukum
sekeras-kerasnya bila bersalah.
Kendati
HMI telah berusaha menunjukkan eksistensi dirinya sebagai bagian dari
kekuatan revolusioner, namun tetap saja HMI menjadi sasaran CGMI
dan/atau PKI untuk dibubarkan. Pada saat saat HMI terdesak itulah Ikatan
mahasiswa Muhammadiyah lahir pada tanggal 14 maret 1964 (29 Syawal 1384
H). Itulah sebabnya muncul persepsi yang keliru bahwa IMM dibentuk
adalah sebagai persiapan untuk menampung aggota-anggota HMI kalau
terjadi dibubarkan. Persepsi yang keliru ini dikaitkan dengan dekatnya
hubungan HMI dengan Muhammadiyah. Sebagaimana diketahui bahwa HMI pada
mulanya didirikan dan dibesarkan oleh orang-orang Muhammadiyah, maka
kalau HMI dibubarkan Muhammadiyah harus menyediakan wadah lain.
Persepsi
tersebut adalah keliru, karena kelahiran IMM salah satu faktor
historisnya adalah justru untuk membantu dan mempertahankan eksistensi
HMI supaya tidak mempan dengan usaha-usaha PKI yang ingin
membubarkannya. Sebab, kalau kelahiran IMM diperuntukkan untuk mengganti
HMI jika dibubarkan, maka IMM tidak perlu repot-repot terlibat dalam
beraksi menentang PKI yang mau membubarkan HMI. Di antara praduga
mengapa kehadiran IMM dalam sejarah gerakan mahasiswa dipersoalkan
adalah karena sangat dekatnya kelahiran IMM—kendati ide dasarnya sudah
ada sejak tahun 1936—dengan peristiwa G 30 S/PKI. Sehingga muncul
pertanyaan (yang menggugat), mengapa IMM yang baru lahir sudah langsung
terlibat dalam peristiwa nasional dan sejarah besar dalam pergulatan
bangsa melawan dan menghancurkan PKI. Pada tahun 1965, IMM juga ikut
bergabung dalam wadah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), dan
Slamet Sukirnanto, salah seorang tokoh DPP IMM, pada saat dibentuknya
KAMI menjadi salah satu Ketua Presidium Pusat KAMI. IMM sendiri pada
masa-masa awal berdiriya tidak luput dari ancaman dan teror PKI. Reaksi
jahat dari PKI terhadap kelahiran IMM tersebut tidak saja tejadi di
pusat, tetapi juga di daerah-daerah. Untuk menyelamatkan eksistensi IMM
yang baru berdiri itu, maka dalam kesempatan audiensi dan silaturahmi
dengan Presiden Soekarno di Istana Negara Jakarta pada tanggal 14
Februari 1965 DPP IMM meminta restunya. "Saja beri restu kepada Ikatan
Mahasiswa Muhammadijah", demikian pernyataan yang ditandatangai oleh
Presiden Soekarno. Karena IMM merupakan kebutuhan intern dan ekstern
Muhammadiyah, maka tokoh-tokoh PP Pemuda Muhammadiyah yang sebelumnya
bergabung dengan HMI kembali, sekaligus untuk membina dan mengembangkan
IMM. Dalam hal ini juga muncul klaim dan persepsi yang keliru, bahwa IMM
dilahirkan oleh HMI. Tokoh-tokoh Pemuda Muhammadiyah khususnya yang
terlibat menghembangkan HMI, karena waktu itu IMM belum ada. Sementara
keterlibatan mereka di HMI adalah untuk mengembangkan ideologi
Muhammadiyah. Buktinya setelah sekian lama ada di HMI, ternyata HMI yang
sudah dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kalangan ormas keislaman
itu pada akhirnya berbeda dengan orientasi Muhammadiyah. Oleh karena itu
adalah wajar jika pada akhirnya mereka kembali ke Muhammadiyah
sekaligus untuk turut mengembangkan IMM. Hal ini seperti yang terjadi di
Yogyakarta, Jakarta, Riau, Padang, Ujungpandang dan lain lain. Juga
perlu dicatat bahwa para tokoh PP Pemuda Muhammadiyah dan NA yang
terlibat dalam mengusahakan terbentunya IMM sejak awal sampai berdirinya
adalah mereka yang betul-betul tidak pernah terlibat dalam HMI.
Berdirinya IMM berdasarkan perjalanan sejarahnya tersebut adalah karena
tuntutan dan keharusan sejarah (historical nessecity) dalam kontek
kehidupan umat, bangsa, dan negara serta dinamika gerakan mahasiswa di
Indonesia. Adapun maksud berdirinya IMM adalah: 1. Turut memelihara
martabat dan membela kejayaan bangsa; 2. Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam; 3. Sebagai upaya untuk menopang, melangsungkan, dan
meneruskan cita-cita pendirian Muhammadiyah; 4. Sebagai pelopor,
pelangsung, dan penyempurna cita-cita pembaruan dan amal usaha
Muhammadiyah; 5. Membina, meningkatkan, dan memadukan iman dan ilmu
serta amal dalam kehidupan bangsa, umat, dan persyarikatan.
Dinamika
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Seperti halnya organisasi-organisasi
lain, dalam karier sejarahnya IMM mengalami dinamika gerakan yang naik
turun dan pasang surut. Selama lebih dari tiga setengah dasawarsa ini,
IMM telah mengalami empat periode gerakan. Pertama, periode pergolakan
dan pemantapan (1964-1971). Kedua, periode pengembangan (1971-1975).
Ketiga, periode tantangan (1975-1985). Keempat, periode kebangkitan
(1985-?).
Dalam
periode pergolakan dan pemantapan ini, IMM yang masih sangat muda harus
berhadapan dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya
di tengah kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama yang sangat rawan
dan kritis. IMM pada saat itu langsung berhadapan dengan kebijakan
Manipol Usdek Bung Karno, Nasakom, dan ancaman PKI. Dalam periode ini
kegiatan-kegiatan IMM lebih banyak diarahkan kepada pembinaan personil,
penguatan organisasi, pembentukan dan pengembangan IMM di kota-kota
maupun perguruan tinggi. Dalam periode ini pula pola gerakan, prinsip
perjuangan dan perangkat organisasi IMM berhasil ditetapkan.
Dalam
periode ini telah terselenggara tiga kali Musyawarah Nasional
(Muktamar) dan empat kali Konferensi Nasional (Tanwir) serta terbentuk
lima kali formasi kepemimpinan IMM. Selama periode ini Mohammad Djazman
Al-Kindi terus menjadi Ketua Umum DPP IMM. Kepemimpinan pertama (DPP
Sementara) pra-Munas berlangsung dari tahun 1964-1965, dengan Ketuanya
Mohammad Djazman Al-Kindi. Kepemimpinan kedua (1965-1967) adalah hasil
Munas I di Surakarta (1-5 Mei 1965). Ketua Umum: Mohammad Djazman
Al-Kindi; dan Sekretaris Jendral: A. Rosyad Sholeh. Kepemimpinan ketiga
hasil reshuffle pada pertengahan 1966, Ketua Umumnya tetap; dan Soedibjo
Markoes menjadi Pejabat Sekjen. Kepemimpinan keempat (1967-1969) hasil
Munas II di Banjarmasin (26-30 November 1967), Ketua Umum tetap; dan
Sekjennya adalah Syamsu Udaya Nurdin. Kepemimpinan kelima hasil
reshuffle pada Konfernas di Magelang (1-4 Juli 1970), Ketua Umum-nya
masih tetap; sedangkan yang menjadi Sekjen adalah Bahransyah Usman.
Selain
Djazman, tokoh-tokoh awal IMM lainnya yang terkenal di antaranya
seperti: A. Rosyad Sholeh, Soedibjo Markoes, Mohammad Arief, Sutrisno
Muhdam, Zulkabir, Syamsu Udaya Nurdin, Nurwijoyo Sarjono, Basri Tambun,
Fathurrahman, Soemarwan, Ali Kyai Demak, Sudar, M. Husni Thamrin, M.
Susanto, Siti Ramlah, Deddy Abu Bakar, Slamet Sukirnanto, M. Amien Rais,
Yahya Muhaimin, Abuseri Dimyati, Marzuki Usman, Abdul Hadi W.M. Machnun
Husein, dll.
Peran
dan kehendak IMM untuk meneguhkan dan memantapkan eksistensinya secara
signifikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara serta untuk
kepentingan ummat dan Muhammadiyah selama periode ini tampak menonjol,
baik melalui pernyataan deklarasi-deklarasinya—seperti Deklarasi Kota
Barat 1965 dan Deklarasi Garut 1967—maupun dengan aktivitas kegiatan dan
artikulasi gerakannya. Mulai tahun 1971-1975 disebut sebagai periode
pengembangan, karena masalah-masalah yang menyangkut konsolidasi
pimpinan dan organisasi tidak terlalu banyak dipersoalkan. Orientasi
kegiatan dan dinamika gerakan IMM sudah mulai banyak diarahkan pada
pengembangan organisasi seperti melalui program-program sosial, ekonomi,
dan pendidikan. Dinamika gerakan IMM ini semakin memperteguh concern
IMM terhadap masalah-masalah kehidupan mahasiswa, umat, dan bangsa di
tengah gejolak sosial dan modernisasi pembangunan. Hal ini misalnya
seperti yang dinyatakan dalam Deklarasi Baiturrahman 1975, maupun dalam
hasil rumusan pemikiran dari Munas dan Konferensi IMM. Dalam periode ini
hanya terjadi satu kali suksesi kepemimpinan di tingkat DPP IMM. Munas
III di Yogyakarta (14-19 Maret 1971) menghasilkan A. Rosyad Sholeh
sebagai Ketua Umum; dan Machnun Husein sebagai Sekjen. Kemudian
Konfernas V di Padang memutuskan penambahan personalia staf DPP IMM,
yaitu: Alfian Darmawan, Abbas Sani, Maksum Saidrum, Ajeng Kartini,
Dahlan Rais, Ahmad Syaichu, dan Arief Hasbu.
Dalam
periode ini pula terjadi peristiwa penting yang mewarnai keberadaan
IMM, yaitu dalam hal pembentukan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia)
dan peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974). Waktu itu
IMM tidak diakui sebagai salah satu pencetus kelahiran KNPI (23 Juli
1973), karena tidak ikut menandatangani Deklarasi Pemuda Indonesia
sebagai landasan berdirinya KNPI. Sementara, pembuat dan perumus
Deklarasi Pemuda Indonesia itu adalah Slamet Sukirnanto, salah seorang
anggota DPP IMM, yang waktu itu tidak bersedia menandatangani deklarasi
tersebut atas nama IMM. Ketidakikut sertaan Slamet Sukirnanto
menandatangani deklarasi tersebut, dikarenakan pembentukan wadah
generasi muda itu semula adalah secara perorangan dan sekedar sebagai
wadah komunikasi antara generasi muda serta keanggotaannya bersifat
pribadi. Namun ternyata pada saat penandatanganan harus mengatasnamakan
organisasi. Dalam hal inilah letak persoalannya. Secara organisatoris,
Slamet Sukirnanto menolak menandatangani deklarasi itu, tetapi secara
pribadi ia bersedia. Ketika terjadi peristiwa Malari—yang berakibat pada
tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa--, maka pada tanggal 16
Januari 1974 IMM mengirim surat kepada Presiden Soeharto untuk
mengadakan referendum dalam upaya mencari kebenaran obyektif mengenai
kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Upaya ini diharapkan dapat
tetap menjaga keutuhan persatuan serta kepentingan bangsa dan negara
yang lebih besar jangan sampai menjadi korban para pemegang policy.
Dalam menghadapi aksi Malari tersebut, IMM berharap agar pemerintah
tidak memadamkan aspirasi dan idealisme mahasiswa.
Di
antara ide dan gagasan pemikiran IMM pada periode ini adalah mengenai
pendidikan. Dalam hal ini IMM menyadari bahwa pendidikan adalah suatu
usaha "human investmen" yang penting untuk melukis dan mewarnai masa
depan bangsa. Pendidikan merupakan salah satu unsur terpenting untuk
menumbuhkan dan membina mental attitude bangsa. Kemudian mengenai
masalah organisasi mahasiswa, IMM berpendapat bahwa keberadaannya harus
berfungsi sebagai organisasi kader dan sekaligus dakwah. Karena itu
organisasi mahasiswa harus menganut asas potensi, partisipasi,
keluwesan, dan kesederhanaan.
Sedangkan
dalam hal generasi muda, IMM berpendangan bahwa pembinaannya harus
senantiasa dikaitkan dengan strategi pembangunan nasional yang berjangka
panjang. Untuk itu perlu adanya pembauran antara konsep generasi muda
sebagai pelanjut dengan konsep generasi muda sebagai pembaharu. Demikian
pula halnya dengan perpaduan antara pengertian kader dan pioner.
Setelah
melewati periode pergolakan dan pemantapan serta pengembangan, pada
tahun 1975-1985 IMM berada dalam periode tantangan. Dalam periode ini
Muktamar IV IMM di Semarang (21-25 Desember 1975), menghasilkan Zulkabir
sebagai Ketua Umum; dan M. Alfian Darmawan sebagai Sekjen. Dalam
periode ini IMM sebetulnya tidak menghadapi konflik atau tantangan yang
berarti, yang menyebabkan organisasi ini mengalami stagnasi. Namun
persoalannya terletak pada terjadinya kevakuman kepemimpinan di tingkat
nasional (DPP IMM) selama lebih kurang satu dasawarsa. Selama periode
ini di tingkat DPP tidak terjadi suksesi dan regenerasi kepemimpinan,
atau dengan kata lain tidak terselenggara musyawarah nasional atau
muktamar, yang seharusnya berlangsung pada tahun 1978.
Kevakuman
dan terjadinya kemandegan IMM di DPP ini menimbulkan keprihatinan dan
keheranan bagi banyak pihak, khususnya di kalangan Muhammadiyah dan
ortomnya. Pada tahun 1983, H.S. Prodjokusumo misalnya menanggapi masalah
ini dalam tulisannya IMM Bangkitlah. Kemudian dengan nada menyindir dan
dalam gaya personifikasi—tanpa bisa menutupi kekecewaannya tehadap
IMM—Umar Hasyim menulis: "Merenungi sejarahmu, kita jadi heran, ketika
sejak Muktamar ke-4 tahun 1975 itu anda dengan lelapnya tidur nyenyak
selama sepuluh tahun, karena pada bulan April 1986 engkau baru berhasil
bermuktamar dan memilih kepengurusan DPP lagi. Sungguh luar biasa
sekali, suasana dunia dimana anda berada ini demikian gegap gempitanya,
tetapi anda bisa lelap tidur." Namun demikian, kendati di tingkat DPP
terjadi kevakuman, justru di bawahnya IMM tetap eksis dan bergerak.
Aktivitas kegiatan, program kerja, dan kaderisasi di tingkat bawah itu
terus berjalan. Kevakuman DPP IMM tidak mempengaruhi aktivitas IMM di
Daerah, Cabang, dan Komisariat. Identitas IMM ternyata begitu kuat
melekat pada jiwa para pimpinan dan kader IMM di bawah. Di level bawah
IMM masih tetap tumbuh subur. Meski berada dalam periode tantangan, IMM
masih tetap berusaha untuk melahirkan ide dan gagasan pemikirannya. Di
antara ide dan gagasannya itu adalah mengenai perlunya Menteri Negara
Urusan Pemuda. Ide dan gagasan pemikiran tersebut berangkat dari latar
belakang kemahasiswaan dan kepemudaan yang tidak mempunyai saluran yang
semestinya. Untuk itulah IMM mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk
mengnagkat seorang Menteri Negara Urusan Pemuda yang menyelenggarakan
dan membina komunikasi dengan seluruh eksponen generasi muda. Kemudian,
ketika terjadi Keputusan 15 November 1978 (KNOP 15), IMM mengusulkan
perlunya pengendalian dan pengarahan konsumsi masyarakat. Hal ini
mengingat telah terjadinya bentuk konsumsi yang non-esensial dan tidak
produktif. Di samping itu, perlunya perlindungan dan pembinaan industri
kecil agar dapat bersaing dengan industri besar, oleh IMM dikemukakan
kepada pemerintah. Demikian pula halnya dengan pemerataan pendapatan dan
kesempatan kerja perlu diperhatikan oleh pemerintah. Setelah mengalami
kevakuman dan kemandegan selama satu dasawarsa itu, maka pada tahun 1985
IMM mulai memasuki periode kebangkitan. Periode ini dimulai dengan
adanya SK PP Muhammadiyah No. 10/PP/1985 tertanggal 31 Agustus 1985
tentang pembentukan DPP (Sementara) IMM. DPP(S) ini terdiri dari:
Ketua : Immawan Wahyudi (DIY)
Ketua I : Drs. Anwar Abbas (DKI) Ketua II : Drs. M. Din Syamsuddin (DKI) Ketua III : Farid Fathoni AF (Surakarta)
Sekretaris I : Mukhlis Ahasan Uji (DIY)
Sekretaris II : Nizam Burhanuddin (DKI) Sekretarus III: Agus Syamsuddin (DIY)
Bendahara I : St. Daulah Khoiriati (DIY)
Bendahara II : Asmuyeni Muchtar (DKI)
Setelah
dilantik pada tanggal 1 september 1985, DPP(S) IMM mulai menata
organisasi dan menjalankan aktivitasnya. Pada tanggal 7-10 desember 1985
DPP(S) berhasil mengadakan Tanwir ke-7 IMM di Surakarta. Tanwir yang
bertemakan "Bangkit dan Tegaskan Identitas Ikatan" ini pada akhirnya
mampu membangkitkan IMM dari tidurnya yang panjang. Hingga kemudian pada
tanggal 14-18 april 1986 DPP(S) berhasil menyelenggarakan Muktamar ke-5
IMM di Padang, Sumatra Barat. Selain pada akhirnya berhasil menyusun
kepengurusan DPP IMM yang baru periode 1986-1989 (Ketua Umum: Nizam
Burhanuddin; dan Sekjen: M. Arifin Nawawi), Muktamar V itu juga mampu
merumuskan konsep pengembangan wawasan bangsa dan umat kaitannya dengan
identitas Ikatan, penyusunan ulang sistem perkaderan, pengembangan
organisasi dan pembahasan program kerja. Dalam Muktamar V itu IMM juga
bisa menghasilkan Deklarasi Padang, yang mengartikulasikan visi dan
keberpihakan IMM terhadap masalah-masalah dunia internasional, umat
Islam di Indonesia, Muhammadiyah, IMM sendiri, serta pembinaan generasi
muda dan mahasiswa. Dalam periode kebangkitan ini IMM tidak lepas dari
halangan dan tantangan. Artikulasi gerakan IMM pun mengalami dinamika
dan fluktuasi. Dalam periode kebangkitan (sampai sekarang) ini IMM telah
mengalami beberapa kali Muktamar dan Tanwir, yang berperan untuk
menpertahankan eksistensi IMM dan menyinambungkan regenerasi
kepemimpinannya.
Muktamar
VI di Ujungpandang (7-12 Juli 1989) menghasilkan DPP IMM (periode
1989-1992), dengan M. Agus Samsudin sebagai Ketua Umum; dan Fauzan
sebagai Sekjen. Kemudian Tanwir VIII di Medan (24-28 April 1991),
memutuskan Abdul Al Hasyir sebagai Sekjen, menggantikan Fauzan. Pada
tanggal 25-31 Desember 1992 IMM berhasil menyelenggarakan Muktamar VII
di Purwokerto, yang menghasilkan Tatang Sutahyar W sebagai Ketua Umum;
dan Syahril Syah sebagai Sekjen untuk periode 1993-1995. Selanjutnya,
pada Tanwir IX di Palembang (7-11 Juli 1994) terjadi pergantian Ketua
Umum dari Tatang Sutahyar oleh Syahril Syah sebagai Pj. Ketua Umum, dan
Armyn Gultom sebagai Sekjen. Selanjutnya, pada tanggal 25-31 Maret 1995
IMM kembali mengadakan Muktamar VIII di Kendari yang berhasil memilih
Syahril Syah sebagai Ketua Umum dan Abd. Rohim Ghazali sebagai Sekjen
untuk periode 1995-1997. Kemudian pada tanggal 22 Februari-2 Maret 1997,
IMM kembali mengadakan Muktamar IX di Medan yang menghasilkan Irwan
Badillah sebagai Ketua Umum dan M. Irfan Islami Dj. sebagai Sekjen untuk
periode 1997-2000. Sampai sekarang IMM memiliki 26 DPD dan 115 PC,
serta anggota sebanyak kurang lebih 567.000 orang. Anggota IMM tersebut
tersebar di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta perguruan
tinggi Muhammadiyah khususnya. Artikulasi gerakan IMM tidak terbatas
dalam aktivitas dan pelaksanaan program-program kerja yang rutin belaka,
tetapi juga aktif dalam menyikapi dan merespons persoalan-persoalan
sosial-politik dan kemanusiaan, baik dalam skala lokal, nasional, maupun
global. Kepedulian dan keberpihakan IMM seperti ini, karena IMM tidak
ingin teralienasi oleh dinamika zaman dan terbawa arus secara pasif oleh
perubahan sosial yang terus bergulir. Begitu pula ketika terjadi
aksi-aksi gerakan reformasi yang banyak dilakukan kalangan mahasiswa dan
kaum intelektual pada tahun 1997, IMM tidak ketinggalan melibatkan diri
dan aktif bergerak di dalamnya. Baik di tingkat pusat maupun daerah,
bersama eksponen Angkatan Muda Muhammadiyah lainnya IMM bergerak untuk
mendukung dan menyukseskan aksi gerakan reformasi yang berhasil
melengserkan Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya. Di Yogyakarta
misalnya IMM bergabung dalam Komnas AMM bersama organisasi otonom
lainnya dalam mengartikulasikan gerakan dan tuntutan reformasi. Selain
itu di beberapa Komisariat dan Korkom, IMM juga banyak mengadakan aksi
dan gerakan serupa. Begitu pula dengan IMM di daerah-daerah lainnya,
seperti di Jakarta yang menamakan gerakannya dengan FAKSI IMM (Front
Aksi untuk Reformasi). Di Surabaya dan Ujungpandang IMM ada dalam GEMPAR
(Gerakan Mahasiswa Pro Amien Rais) dsb. Selain itu, ketika akan
berlangsung jajak pendapat penentuan status Timor-Timur pada tanggal 30
Agustus 1999, IMM juga berpartisipasi aktif dalam pemantauannya. Pada
waktu akan, selama, dan sesudah berlangsung jajak pendapat tersebut IMM
telah mengirimkan Immawan Wachid Ridwan (Biro Kerjasama Luar Negeri dan
Hubungan Internasional DPP IMM) ke Timor-Timur untuk melakukan
pemantauan bersama LSM dan OKP lainnya.
Susunan
dan Struktur Organisasi Seperti Muhammadiyah dan organisasi otonom
lainnya, secara vertikal IMM memiliki susunan organisasi mulai dari
tingkat pusat sampai komisariat. Lengkapnya: Komisariat, Cabang, Daerah,
dan Pusat. Kepemimpinannya disebut Pmpinan Komisariat (PK), Pimpinan
Cabang (PC), Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan Dewan Pimpinan Pusat
(DPP). Komisariat ialah kesatuan anggota dalam suatu fakultas/akademi
atau tempat tertentu. Cabang ialah kesatuan komisariat-komisariat dalam
suatu Daerah Tingkat II atau daerah tertentu. Daerah ialah kesatuan
cabang-cabang dalam suatu Propinsi/Daerah Tingkat I. Pusat ialah
kesatuan daerah-daerah dalam Negara Republik Indonesia. Sebagai salah
satu organisasi otonom Muhammadiyah, maka masing-masing level dari
susunan organisasi tersebut mempunyai hubungan keorganisasian yang
horizontal dengan Pimpinan Muhammadiyah. DPP IMM dengan PP Muhammadiyah;
DPD IMM dengan PW Muhammadiyah; PC IMM dengan PD Muhammadiyah; dan PK
IMM dengan PC/PR Muhammadiyah.
|
Minggu, 02 September 2012
SEJARAH IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar